Kaum Polimatik dan Sistem Pendidikan di Indonesia Saat Ini

Polimatik (bahasa Inggris: Polymath) merupakan istilah yang merujuk pada seseorang yang memiliki pengetahuan yang tidak terbatas hanya dalam satu bidang, atau dengan kata lain ia memiliki pengetahuan yang luas. Sejarah mencatat bahwasanya para ilmuwan kuno termasuk ke dalam kaum polimatik (Laksono, 2010, p.96), contohnya seperti Al-Khawarizmi, seorang ilmuwan Muslim yang menguasai bidang matematika, astronomi, dan geografi; Al-Kindi yang menguasai filsafat, matematika, kedokteran, fisika, optik, astronomi, dan metalurgi; Ibnu Sina yang menguasai ilmu kedokteran, matematika, astronomi dan filsafat, dan lain-lain; Leonardo da Vinci yang terkenal dengan hasil seninya, namun ternyata ia pun menguasai bidang arsitektur, musik, matematika, anatomi, geologi, botani, dan lain-lain. Adapun beberapa nama kaum polimatik terkenal lainnya, seperti Aristoteles, Plato, dan lain-lain. Mereka semua telah membuktikan bahwasanya kapasitas intelejensi manusia itu tidak terbatas hanya pada hal-hal tertentu saja, tetapi dapat menjangkau hal lainnya. Mereka pun membuktikan bahwa manusia dapat melakukan apa saja jika mereka memiliki keinginan. Salah satu faktor yang membantu mereka dapat menjadi seorang polimatik adalah karena mereka mempelajari pengetahuan umum seperti Liberal Arts yang menawarkan pembelajaran lintas ilmu. Menurut Ismawan (2012), pendidikan Liberal Arts “menekankan pada pengembangan kemampuan berpikir dan menalar … dan juga mencakup keseluruhan dimensi kemanusiaan secara utuh, yakni manusia sebagai makhluk yang menalar, berinteraksi, dan menciptakan individu yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab.” Jadi, Liberal Arts lebih mengedepankan pendidikan yang ditujukan untuk menggali potensi, kecerdasan, dan kemampuan multi-dimensi manusia dan bersifat lebih universal. Selain itu, penerapan Liberal Arts dapat membuat pembelajarnya dapat menghubungkan ilmu lintas bidang dan menyiapkannya untuk menghadapi tantangan secara kreatif (Genovese, 2013) dan pada zaman dulu Liberal Arts pun berperan dalam menciptakan manusia-manusia polimatik yang memiliki ilmu lintas bidang dan menguasai cabang-cabang ilmu tersebut dengan baik. Namun, masih dapatkah kita menemukan kaum Polimatik di Indonesia dengan sistem pendidikan saat ini? Marilah kita mengkaji beberapa faktor yang dapat membantu menjawabnya.

  1. Pendidikan yang Semakin Tinggi Semakin Terspesialisasi

Fenomena yang dapat diamati secara sederhana adalah sebagai siswa, kita ditawari mata pelajaran yang beragam sejak SD hingga SMP. Pemberian pengetahuan umum yang beragam sangatlah baik agar dapat memberikan siswa dasar-dasar pengetahuan dan menyiapkan mereka untuk memiliki pengalaman yang bervariasi dalam menjalani kehidupan mereka. Pembelajaran pengetahuan umum ini dapat kita ketahui pada zaman Yunani kuno ketika dipelajari oleh para ilmuwan-ilmuwan yang polimatik, seperti Plato atau Aristoteles. Sebenarnya pembelajaran mata pelajaran yang beragam tersebut pun dapat menjadi cikal bakal terbentuknya siswa yang polimatik dimana mereka dapat mengetahui berbagai hal. Jika siswa mulai tertarik dengan keberagaman hal tersebut, maka mereka akan mulai mendalaminya. Namun, ketika masuk jenjang SMA, siswa mulai dibatasi dalam mendalami pelajaran yang beragam dikarenakan mulainya terdapat program peminatan, seperti IPA, IPS atau Bahasa. Padahal ada kalanya kita menemukan siswa yang sangat menyukai IPA, dan menyukai beberapa mata pelajaran IPS atau Bahasa, namun mereka akhirnya dimasukan ke salah satu program peminatan tanpa adanya kesempatan mereka untuk mempelajari mata pelajaran di kelas peminatan lainnya. Ironisnya, mereka tidak diberikan kebebasan untuk memilih pelajaran yang mereka minati, namun mereka seperti dipaksakan untuk mempelajari mata pelajaran yang disediakan program peminatan tertentu. Tentu saja hal ini akan berdampak seperti mematikan rasa keingintahuan murid akan pelajaran lain yang disediakan di program peminatan lainnya. Selain itu, terkadang terdapat penyimpangan dalam praktik penempatan siswa dalam program peminatan ini. Contohnya, ketika penulis sedang mengenyam pendidikan di SMA, pihak sekolah, alih-alih mendengar keinginan para siswa untuk masuk program peminatan tertentu, malah membuat kebijakan dimana siswa dengan skor tinggi akan dimasukkan ke program IPA, dan yang rendah akan dimasukkan ke program IPS. Hal ini menimbulkan spekulasi di kalangan siswa bahwasanya mereka yang masuk program IPA adalah mereka yang unggul, dan yang masuk IPS adalah mereka yang lemah dalam pelajaran. Padahal banyak siswa yang kecenderungannya menyukai IPS, malah dimasukan ke program IPA, dan begitupun sebaliknya. Tentu saja hal ini pun akan mematahkan semangat mereka dalam belajar. Masa SMA inilah yang merupakan titik awal pendidikan yang mulai terspesialisasi.

Terlebih lagi, ketika memasuki jenjang universitas, kita pun dihadapkan dengan pemilihan jurusan yang sesuai dengan minat kita. Sesuai dengan namanya “jurusan”, sudah berarti bahwa hal-hal yang dipelajari akan menjurus pada satu ilmu tertentu saja. Padahal pada awalnya universitas didirikan untuk mengajarkan para muridnya ilmu-ilmu yang beragam, seperti ilmu pengetahuan, filsafat, dan ilmu agama, dan tidak dimaksudkan untuk membuat muridnya belajar ilmu-ilmu yang terspesialisasi dalam satu bidang tertentu, seperti yang kita rasakan saat ini. Faktor penjurusan yang diimplementasikan ini akan menyebabkan siswa hanya mengetahui apa yang mereka pelajari saja dan kurang memahami persoalan-persoalan lain yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Hal inilah yang dapat menyebabkan mahasiswa kurang bersikap kritis terhadap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat karena mereka tidak dapat melihat gambaran atau benang merah masalah secara utuh dikarenakan ilmunya yang terbatas dan telah terspesialisasi. Mereka hanya dapat mengkritisi dan melihat suatu masalah jika masalah tersebut memang menyinggung ranahnya.

Ironisnya lagi kita dapat menyaksikan fenomena dimana ketika seseorang memiliki pendidikan semakin tinggi, keahliannya malah semakin mengkerucut. Penulis selalu menganggap bahwasanya seseorang yang sudah bergelar professor akan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan banyak atau setidaknya dalam bidangnya saja, tapi kenyataannya beberapa menunjukkan sebaliknya. Contohnya dapat ditemui ketika sedang berkonsultasi dengan professor A mengenai hal yang sebenarnya dipelajari dalam bidangnya, namun karena hal tersebut bukan merupakan spesialisasinya, maka terdapat kemungkinan bahwa ia dapat membahas sedikit saja mengenainya atau malah mengarahkan untuk berkonsultasi pada professor lain yang merupakan ahli dalam spesialisasi tersebut. Seperti inikah potret kaum yang memiliki pendidikan tertinggi? Memang tidak semua professor berlaku demikian, namun toh kenyataannya masih ada beberapa yang demikian. Hal tersebut seperti menegaskan dan membenarkan suatu kondisi bahwa jika kita ingin mendapat gambaran dari satu topik kita secara utuh, maka ilmunya harus terspesialisasi, padahal kita dapat melihatnya dari berbagai sudut pandang ilmu.

Contoh lainnya yang dapat kita lihat dari berkembangnya spesialisasi adalah para ahli kurang dapat melihat hubungan lintas ilmu, dan kalaupun mereka menemukan relasinya dan ingin melakukan penelitian, maka alih-alih melakukannya sendiri, pastinya mereka akan mengikutsertakan para ahli dalam bidang-bidang yang terlibat dalam penelitiannya. Spesialisasi ini telah menyebabkan kita semua menjadi kaum monomatik, padahal sejatinya manusia memiliki kapasitas untuk mempelajari dan mendalami berbagai hal. Jika saja masih terdapat kaum polimatik seperti ilmuwan terdahulu, maka mereka dapat berkontribusi pada bidang-bidang yang berbeda, lain halnya dengan kaum monomatik yang hanya berkontribusi dan hanya berfokus pada bidang spesialisasinya saja. Sekarang pertanyaannya adalah apa yang menyebabkan munculnya spesialisasi ini?

  1. Pendidikan Terspesialisasi, Kebutuhan Industri dan Perkembangan Teknologi dan Informasi

Sejatinya, tujuan pendidikan adalah untuk melengkapi manusia. Seperti kita ketahui bahwasanya manusia terlahir dengan keadaan yang tidak berdaya dan tidak mengetahui apa-apa, dan pengetahuanlah yang membuatnya lengkap, merdeka dan mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan kondisi dan sosial yang terjadi. Namun, seiring munculnya ideologi kapitalisme dimana setiap orang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan industri, dunia pendidikan pun tak ayal terkena imbasnya, khususnya pendidikan di negara berkembang yang malah menyiapkan lulusannya untuk menjadi pekerja industri milik negara-negara maju (Albatch dalam Fatahillah, 2011). Oleh karena itu, akibat tujuan tersebut, muncullah pendidikan yang terspesialisasi untuk dapat memenuhi kebutuhan industri (Novianto, 2014). Padahal menurut Weber dalam Fatahillah (2011), pendidikan yang terspesialisasi menyebabkan terjadinya dehumanisasi dan menyebabkan orang yang mengenyam pendidikan tersebut tidak tahu apa-apa atas hal-hal yang di luar cakupan subjeknya. Hal ini cukup membuat miris karena seharusnya pendidikanlah yang dapat membuat pengenyamnya mengetahui dan menilai berbagai hal secara kritis, namun yang terjadi malah sebaliknya.

Selain itu, seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, perkembangan ilmiah pun berkembang dengan pesat dan cepat. Hal tersebut menyebabkan sulitnya manusia saat ini untuk mengikuti perkembangannya. Untuk bidang yang sudah terspesialisasi saja, perkembangan ilmiah yang terjadi di dalamnya sudah terlalu banyak terjadi apalagi perkembangan ilmiah lintas bidang yang berbeda. Terlebih lagi, perkembangan akses informasi yang cepat seharusnya dapat membuat kita menjadi seorang polimatik karena dapat mengetahui berbagai informasi hanya dengan mengetik kata kunci di mesin pencari, namun kenyataannya tetap menunjukkan sebaliknya. Hal ini disebabkan karena keberadaan teknologi pun memiliki dampak negatif dimana kita cenderung semakin malas untuk mengeksplorasi dikarenakan sudah tertanam dalam pemikiran kita bahwasanya kita tidak perlu repot-repot berpikir kritis dan mendalami sesuatu karena semua informasi sudah tersedia di internet dan kita bisa mengaksesnya dengan mudah.

Jika dilihat dari faktor-faktor tersebut, kemungkinan adanya kaum polimatik sangatlah kecil bahkan terhitung mustahil dengan menilik sistem pendidikan sekarang yang sudah terspesialisasi. Saat ini yang akan sering kita temukan adalah kaum monomatik yang hanya menguasai satu bidang tertentu saja. Bagaimana mungkin terdapat kaum polimatik jika ternyata permasalahannya sendiri terdapat dalam sistem pendidikan kita yang juga sudah terpengaruh ideologi kapitalisme dan berorientasi memenuhi kebutuhan pasar atau ekonomi? Bagaimana kita dapat mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain jika tujuan pendidikan kita masih untuk dapat memenuhi kebutuhan industri bukannya membuat manusia menjadi manusia yang lengkap, merdeka, kritis dan mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan kondisi dan sosial yang terjadi?

  1. Apa yang dapat kita lakukan?

Sudah kita pahami bahwasanya zaman kita sekarang ini telah membatasi kita untuk menjadi manusia seutuhnya dan yang sebenarnya dapat menjadi kaum polimatik. Namun, tak dapat terelakkan lagi bahwa pilihan pun semakin terbatas. Memang spesialisasi memiliki dampak positif dimana manusia akan menempati bidangnya masing-masing dan sesuai dengan kemapuannya, tapi hal ini pun telah menarik manusia dari kodratnya sebagai manusia yang merdeka. Pertanyaanya sekarang adalah apakah kita harus menyerah begitu saja dengan keadaan? Apa yang dapat kita lakukan sebagai pendidik generasi bangsa seterusnya?

Sejatinya sebagai sebagai pendidik, alangkah lebih baik jika kita mengetahui dan memiliki ilmu yang luas dan tidak terbatas hanya pada ilmu yang kita pelajari di bangku kuliah karena kitalah yang akan menjadi panutan siswa kita. Janganlah kita selalu menyalahkan pemerintah dan sistem yang sudah berjalan. Mari kita berfokus saja pada tugas kita sebagai pendidik. Sebenarnya kita dapat membimbing siswa kita agar mereka pun memiliki rasa keingintahuan yang besar dan berkeinginan untuk mengeksplorasi hal-hal yang ada di sekeliling mereka. Ajaklah mereka untuk sering membaca, pandulah mereka untuk berpikir kritis karena dengan membaca saja belum tentu dapat membuat mereka berpikir kritis, bantulah mereka untuk mendalami berbagai ilmu, dan jangan pernah kita membatasi rasa keingintahuan mereka atau mematikannya dengan membatasi atau melarang mereka mempelajari hal-hal yang mereka sukai, seperti musik, misalnya. Janganlah kita menyerah pada keadaan dan hanya bergantung pada pemerintah, kitalah yang seharusnya menjadi penyelamat generasi bangsa ini. Semoga kita dapat melahirkan generasi yang cerdas dengan memulainya melalui pembekalan diri dengan ilmu-ilmu yang luas.


Referensi:

Fatahillah, M.R. (2011). Manusia, Pendidikan, Mahasiswa dan Organisasi Mahasiswa. Retrieved on March 28th 2015 from https://adiimrf.wordpress.com/2011/04/12/.

Genovese, M.A. (2013). Building Tomorrow’s Leaders Today: On Becoming A Polymath Leader. London: Routledge.

Ismawan, F. (2012). Liberal Art: Sejarah dan Aplikasinya. Retrieved on April 27th, 2015 from https://ferryismawan.wordpress.com/2012/01/22/liberal-art-sejarah-dan-aplikasinya-2/ .

Laksono, E. (2010). Imperium III: Zaman Kebangkitan Besar (Edisi Revisi). Jakarta: Penerbit Hikmah.

Novianto, A. (2014). Pendidikan untuk Semua: Mengembalikan Hakikat Pendidikan di Tengah Problematika Kapitalisme Pendidikan di Indonesia. Retrieved on March 28th 2015 from https://arifnovianto.wordpress.com/2014/03/05/pendidikan-untuk-semua-mengembalikan-hakikat-pendidikan-di-tengah-problematika-kapitalisme-pendidikan-di-indonesia/.

Leave a comment